OPTIMALISASI DALAM BERNAVIGASI DI DAERAH CUACA BURUK


BAB I
PENDAHULUAN



A.   LATAR BELAKANG MASALAH

Keselamatan pelayaran merupakan masalah dan tanggung jawab bersama yang harus ditanggulangi oleh semua pihak khususnya bagi mereka yang berkecimpung didalam dunia pelayaran, hal ini tentu memberikan dampak yang sangat besar terutama masalah keselamatan jiwa dilaut serta kapal dan muatannya yang sangat mempengaruhi kepercayaan para pemakai jasa transportasi laut. Masalah ini tentunya menjadi perhatian utama para pelaku bisnis pelayaran juga International Maritime Organization (IMO) yang berkedudukan sebagai sebuah organisasi maritim internasional dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab dalam bidang ini sesuai dengan misinya yaitu “Safer Shipping Cleaner Ocean”.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah ini termasuk dengan diadakannya beberapa konvensi oleh IMO tentang keselamatan pelayaran ini, termasuk dengan diberlakukannya berbagai peraturan sebagai pengaplikasian dari konvensi-konvensi yang telah diadakan seperti: konvensi tentang STCW pada tahun 1978 dan diamandemen tahun 1995, SOLAS 1974, Collision Regulation 1972, MARPOL 1974, International Load Line Convention

1966, yang bertujuan untuk menciptakan dunia pelayaran yang lebih aman dan laut yang lebih bersih yang dapat ditentukan oleh 3 faktor (Articles of the International Convention for Safety Of Life At Sea), yaitu:
1.    Manusia
Dalam suatu pekerjaan apapun menusia selalu memegang peranan paling penting dimana sumber daya manusia berkedudukan sebagai manager sekaligus eksekutor dan sukses atau tidaknya sebuah pekerjaan ditentukan oleh manajerial yang dilakukan untuk membuat perencanaan, mengorganisasikan, menempatkan, dan mengendalikan  anak buahnya untuk kesuksesan pekerjaannya, disamping itu manusia juga bertindak sebagai eksekutor yang akan melakukan eksekusi langsung terhadap pekerjaannya itu setelah melalui proses manajerial yang panjang.
Begitupun dalam dunia pelayaran dimana manusia memegang peranan sangat penting terutama  tindakan watchkeeping atau penjagaan baik ketika dalam sebuah pelayaran atau dipelabuhan, sehingga diatur sedemikian rupa supaya kondisi manusia ini dapat tetap dalam kondisi prima untuk dapat menjalankan tugasnya baik dalam dinas jaga ataupun rest periodenya.
Walaupun demikian, tetap saja manusia masih menjadi penyebab utama dari kecelakaan pelayaran yang terjadi sampai saat ini disamping penyebab – penyebab lainnya seperti faktor alam dan faktor teknis.

2.    Alam.
Seperti kita ketahui bahwa alam adalah sebuah keseimbangan dimana Tuhan sebagai penjaganya sehingga apabila sesuatu yang dikehendaki-Nya untuk terjadi maka terjadilah, akan tetapi sesuatu yang akan terjadi ini, bisa kita antisipasi seperti datangnya cuaca buruk dalam suatu pelayaran seperti kondisi laut yang kurang bersahabat, berarus dan berombak, berkabut dan hujan , laut yang beku atau terdapatnya gunung es yang pecah atau thypoon dan gempa tektonik dan vulkanik tengah laut seperti tsunami sehingga dapat kita hindari sedini mungkin, namun tetap saja faktor cuaca ini menjadi penyebab kecelakaan pelayaran kedua setelah human error, sehingga layak kita perhitungkan untuk dijadikan sebuah pembahasan dalam upaya mencari solusinya.
3.    Teknis Dan Lain-Lain.
Disamping kedua hal diatas, kecelakaan pelayaran juga sering terjadi karena disebabkan oleh kesalahaan teknis baik dari pihak kapal, pelabuhan, stasiun pantai ataupun perusahaan.
Dari ketiga faktor diatas, faktor manusia adalah yang menduduki urutan pertama dan menjadi perhatian IMO untuk mencari jalan keluarnya dengan membuat standarisasi dari kompetensi yang wajib dimiliki oleh setiap pelaut sesuai STCW 1978 amandemen 1995, disamping itu faktor lain juga menjadi bahasan serius terutama faktor alam.
Faktor alam adalah salah satu yang dapat dikurangi, walaupun tidak bisa ditanggulangi secara total, terutama kondisi cuaca yang tidak bersahabat seperti kondisi laut,arus dan ombak, angin dan hujan, kabut dan awan, juga berbagai jenis es yang bisa mengganggu kelancaran dalam bernavigasi dan yang paling berbahaya adalah thypoon.
Mengetahui kondisi tersebut diatas, maka pengetahuan para Awak kapal terutama para Perwira bagian deck tentang cuaca termasuk bagaimana cara bernavigasi di daerah thypoon mulai dari pengidentifikasi yang tepat, persiapan kapal dan muatan yang baik, bermanuver dan berkomunikasi ketika cuaca buruk dan mereview setelah cuaca buruk berlalu, sangat diperlukan disamping kelengkapan alat sarana bantu navigasi dan berita cuaca yang memadai serta kemampuan berbahasa yang baik sangat diperlukan dalam mendukung bernavigasi yang baik demi terciptanya sebuah pelayaran yang aman.
Kondisi cuaca sangat sulit dipastikan, meskipun bisa diramalkan dan dibaca dari pergerakan awan, kecepatan angin, tekanan udara, kondisi arus dan alun, dan lain-lain, cuaca yang buruk seringkali menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pelayaran terutama untuk pelayaran di daerah pembentukan angin cyclon dan anticyclon.termasuk gejala tektonik seperti bencana tsunami dan sebagainya, dan seringkali kecelakaan pelayaran yang terjadi dalam dekade terakhir ini disebabkan oleh faktor cuaca buruk.
Melihat pentingnya masalah diatas, maka dalam penelitian ini akan mengangkat tema di atas dan akan membahas tentang permasalahan bernavigasi yang baik terutama ketika cuaca buruk yang dapat mengganggu amannya suatu pelayaran dan suksesnya operasional kapal demi terwujudnya “Safer Shipping Cleaner Ocean” maka dipilihlah sebuah judul, yaitu:
“OPTIMALISASI DALAM BERNAVIGASI DI DAERAH CUACA BURUK
B.  TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.   Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini akan dipaparkan semua data dan pembahasan berdasarkan pengalaman selama menjalani proyek laut dengan observasi secara langsung terhadap beberapa kejadian, dan wawancara nonformal yang dilakukan ketika proyek laut dengan Nahkoda dan semua Perwira, khususnya Perwira bagian navigasi di kapal kami juga awak kapal bagian deck dan dengan mengambil beberapa referensi yang diambil dari beberapa buku sebagai acuan dalam melakukan penelitian terhadap permasalahan ketika bernavigasi dalam cuaca buruk dengan tujuan untuk dapat meminimalisir dan dapat menekan angka kecelakaan pelayaran yang terjadi akibat cuaca buruk.
2.   Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini akan diketengahkan beberapa bahasan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para Pembaca, yaitu:
a.    Sebagai sebuah sumbangan pemikiran tentang bernavigasi yang baik ketika cuaca buruk mulai dari identifikasi yang tepat, persiapan sampai pelaksanaannya dengan memanfaatkan semua sarana bantu navigasi dan komunikasi yang ada.
b.    Supaya para Perwira kapal lebih siap dengan tindakan antisipasi yang mantap sehingga tidak akan terjadi kecelakaan selama dalam pelayaran dan dapat mendukung operasional kapal dalam bernavigasi yang baik demi terciptanya sebuah kondisi yang “Safer Shipping Cleaner Ocean”.
Disamping kedua manfaat di atas penelitian ini juga diharapkan akan berguna sebagai masukan bagi para Pembaca khususnya yang berprofesi sebagai Pelaut.
C.  PERUMUSAN MASALAH
Dalam sebuah pelayaran banyak sekali faktor yang dapat menentukan sukses atau tidaknya pelayanan terhadap konsumen dengan jasa pengangkutan yang ditawarkan dan salah satunya adalah faktor alam.
Selain dengan dukungan sumber daya manusia yang handal dan pelaksanaan teknis dilapangan yang baik, seringkali cuaca buruk menjadi penghambat dalam operasional kapal terutama untuk perhitungan lay time, akibatnya kapal akan mengalami keterlambatan.
Dalam hal ini, pihak kapal sering dihadapkan pada dilema untuk memilih antara keselamatan atau keterlambatan, akibatnya banyak pihak termasuk Shippper dan Consignee yang merasa dirugikan, selain pihak Carrier sendiri.
Koordinasi yang baik dari semua Awak kapal dengan memanfaatkan sarana bantu navigasi yang ada sangat diperlukan untuk mengatasi hal ini, tetapi pada pelaksanaannya dilapangan belum sepenuhnya dapat diterapkan sehingga dapat menyebabkan kecelakaan dalam sebuah pelayaran.
Dari hasil pengamatan di atas, maka dapat kita rumuskan permasalahan yang ada adalah sebagai berikut:
Sejauh mana kemampuan para Perwira di atas kapal MV.WAN HAI 263 sudah memenuhi  standar kompetensi sesuai yang disyaratkan oleh STCW 1978, terutama kemampuan untuk bernavigasi dalam cuaca buruk dari mulai dalam melakukan persiapan untuk mengamankan kapal, kemampuan mengoperasikan peralatan bantu navigasi dan penggunaan bahasa Inggris yang standar dalam komunikasi radio, sehingga terjadi kepincangan yang dapat membahayakan dalam bernavigasi terutama dalam kondisi cuaca buruk, sehingga dapat menghambat atau bahkan menggagalkan operasional kapal.
D.  PEMBATASAN MASALAH
Navigasi merupakan masalah yang sangat kompleks adanya dan berhubungan erat dengan banyak disiplin ilmu, dalam penulisan skripsi ini akan disajikan dan dilakukan pembahasan terhadap permasalahan cuaca termasuk aplikasimya di atas kapal oleh para Perwira bagian navigasi dan cara mengatasi permasalahan yang ada.
Pada penulisan skripsi ini pembahasan dibatasi hanya pada permasalahan tentang bagamana identifikasi thypoon, persiapan, dan bermanuver ketika cuaca buruk termasuk komenikasi dan peralatan bantu navigasi yang berhubungan dengan pemberitaan cuaca, komunikasi radio, demi terciptanya keselamatan pelayaran terutama di atas kapal MV.WAN HAI 263 sebagai tempat penelitian yang dilakukan yaitu ketika menjalani satu tahun proyek laut, mengingat luasnya ruang lingkup masalah ini dan dengan keterbatasan ilmu serta pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai, maka penelitian yang dilakukan sesuai dengan pembatasan dari permasalahan yang telah ditetapkan pada BAB ini.
E.  SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan skripsi ini susunan dari kata dan kalimat didalam BAB dan antar BAB yang digunakan dalam sistematika penulisan sesuai dengan pedoman penulisan skripsi di STIP yaitu dengan sistematika penulisan sebagai berikut:.
JUDUL: KESELAMATAN BERNAVIGASI DALAM CUACA BURUK
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam Sub BAB ini akan diketengahkan sebab dan asal mula dilakukannya penelitian tentang pentingnya keselamatan dalam suatu pelayaran terutama dalam kondisi cuaca buruk.
B.  Tujuan Dan Manfaat
Dalam Sub BAB akan dikemukakan tentang upaya pokok yang akan dikerjakan dan garis besar yang akan dicapai dari hasil penelitian tentang keselamatan dalam bernavigasi yang akan dilakukan.
C.  Perumusan Masalah
Dalam Sub BAB ini akan dijelaskan tentang apa sebenarnya yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan dalam bernavigasi terutama dalam cuaca buruk.
D.  Pembatasan Masalah
Dalam Sub BAB ini akan diberikan perincian dari permasalahan tentang keselamatan dalam bernavigasi dan ruang lingkup pembahasannya.
E.  Sistematika Penulisan
Dalam Sub BAB ini akan disajikan urutan dari hal-hal yang dimuat dalam SKRIPSI tentang kelamatan bernavigasi ini.
BAB II LANDASAN TEORI
A.  Tinjauan Pustaka
Dalam Sub BAB ini akan dituliskan beberapa kutipan dari beberapa buku referensi yang memuat uraian tentang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk.
B.  Kerangka Pemikiran
Dalam Sub BAB ini akan direlavankan permasalahan dalam bernavigasi dalam cuaca buruk dengan teori yang ada dan mengasumsikannya.
BAB III METODE PENELIITAN
A.  Waktu Dan Tempat Penelitian
Dalam Sub BAB ini akan diberikan keterangan tentang kapan penelitian tentang keselamatan bernavigasi ini dilakukan dan tempat penelitian dilakukan.
B.  Teknik Pengumpulan Data
Dalam Sub BAB ini akan dijelaskan bagaimana data-data tentang keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk bisa diperoleh dengan teknik-teknik yang ada.
C.  Teknik Analisis Non Statistik
Dalalm Sub BAB ini akan dijelaskan teknik dari penelitian tentang keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk yang akan dilakukan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.  Deskripsi Data
Dalam Sub BAB ini akan digambarkan secara keseluruhan data-data tentang keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk yang ada yang diperoleh dengan teknik pengumpulan data yang diambil dan dengan ruang lingkup yang sesuai dengan pembatasan masalah.
B.  Analisa Data
Dalam Sub BAB ini akan dicari hubungan dari keselamatan bernavigasi
dalam cuaca buruk yang telah dideskripsikan dan mencari pemecahannya dengan melakukan penalitian dengan teknik analisa yang diambil.
C.  Alternatif Pemecahan Masalah
Dalam Sub BAB ini akan diberikan beberapa pilihan yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan sebagai upaya pemecahan dari keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk.
D.  Evaluasi Pemecahan Masalah
Dalam Sub BAB ini akan dilakukan peninjauan ulang terhadap beberapa alternatif yang akan diambil untuk memecahkan masalah yang menghambat dalam bernavigasi ketika cuaca buruk, dan menetapkan satu pilihan yang paling tepat sebagai metode yang akan diambil dan dilaksanakan dalam memecahkan masalah ini.
BAB V PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dalam Sub BAB ini akan dijawab semua permasalahan dalam penelitian tenteng keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk ini dengan membuat sebuah kesimpulan dari hasil analisa dan pembahasan dengan cara pemecahan yang sudah ditetapkan.
B.  Saran
Dalam Sub BAB ini akan diutarakan beberapa ide sebagai sumbangan pemikiran berupa usul-usul konkrit tentang keselamatan bernavigasi dalam cuaca buruk kepada pihak-pihak terkait.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN





BAB II
LANDASAN TEORI

A.  TINJAUAN PUSTAKA
Dalam dunia pelayaran sebuah kondisi yang aman tentunya sangat diharapkan oleh semua pihak, dimana untuk melakukan sebuah pelayaran dengan selamat tentunya haruslah dimulai dari sebuah persiapan yang matang yang harus dilakukan oleh semua Perwira bagian navigasi dan mesin dibawah pengawasan Nahkoda, menurut STCW Convention 1978 amandement 1995,  (IMO,1995:13), mengatakan bahwa:
Seorang Perwira bagian navigasi harus melakukan pemeriksaan terhadap:
1.   Alat-alat navigasi dan komunikasi kapal.
a.    Perlengkapan navigasi dan pemasangannya.
1). Wheel House (Ruang kemudi dan Anjungan).
a).  Kompas:
(1).     Kompas kemudi.
(2).     Jam dan kompas bearing.
(3).     Kompas gyro (Repeater).
(4).     Kompas standar
b).  Alat Kemudi:
(1).   Steering wheel (Roda Kemudi).
(2).   Telemotor transmitter.
(3).   Gyro pilot.

c).   Indikator-indikator:
(1).   Helm indikator (Penunjuk kemudi).
(2).   Engine revolution indicator (Penunjuk RPM/putaran      mesin).
(3).   Log speed register (Daftar kecepatan).
(4).   Log distance register (Daftar catatan jarak).
(5).   Rudder angle indikator (Petunjuk kemudi).
(6).   Echo sounder (Pengukur kedalaman air).
(7).   Clinometer (Pengukur kemiringan kapal).
d).  Perlengkapan untuk pengamatan dan penentuan posisi:
(1).   Binocular dan Telescope (Teropong dan Telescope).
(2).   Clear view screen (Kaca terang).
(3).   RADAR.
(4).   Direction finder.
(5).   Loran, Decca, dan Omega receiver.
(6).   Pesawat penerima satelit pelayaran.
e). Lampu-lampu:
(1).   Lampu navigasi (Lampu tiang, lambung, dan buritan).
(2).   Lampu sorot.
(3).   Lampu deck dan lampu jangkar.
f).   Lain-Lain:
(1).   Lampu tanda bahaya pekerjaan.
(2).   Fire detector.
(3).   Pesawat penerima atau Fax.
(4).   Pengawas pintu kedap air.
(5).   Logger (Untuk telegraph mesin dan sebagainya).
(6).   Control Stand (Untuk mesin utama thruster, cargo crane dan system).
2). Kamar peta:
Meja dan Peta.
a). Chronometer.
b). Alat pengamat cuaca.
c). Marine chrystal clock.
d). Barometer.
e). Buku dan Dokumen sebagai berikut:
(1).   Buku jurnal.
(2).   Buku isyarat.
(3).   Bulu Pilot.
(4).   Daftar suar.
(5).   Daftar pasang surut.
(6).   Almanak nautika.
(7).   Buku register Kapal.
(8).   Daftar jarak.
(9).   Buku perintah malam Nahkoda.
3). Communication system (Sistem komunikasi):
a). Perlengkapan untuk komunikasi jarak jauh:
(1).   Radio Telegraf.
(2).   Radio Telephone.
b). Alat-alat visual dan bunyi:
(1).   Bendera isyarat international.
(2).   Bendera tangan.
(3).   Lampu signal.
(4).   Alat bunyi:
§ Suling uap.
§ Suling udara.
§ Suling kabut otomatis.
c). Perlengkapan untuk komunikasi ke dalam:
(1).   Telegraf
(2).   Interphone
(3).   Sistem pemberitahuan umum (Public Addreser system)
d). Sextant (Alat pengukur tinggi matahari).
Disamping Perwira bagian navigasi, Perwira lainnya juga harus melakukan persiapan terhadap bagian yang menjadi tanggung jawabnya.

Mualim 1 sebagai Perwira yang bertanggung jawab terhadap muatan juga harus melakukan persiapan seperti yang dikemukakan oleh H.I. Lavery BA, Master Mariner, MNI, MCIT, Shipborne Operation Second edition. (H.I. Lavery,1990:240), bahwa:
Muatan deck harus diamankan agar dapat menjamin bahwa tidak ada perpindahan atau pergerakan muatan pada saat cuaca buruk yang tidak terduga pada saat sedang berlayar, lashing-lashing dan fitting-fitting yang dipergunakan untuk mengikatkan kontainer tersebut harus cukup kuat agar dapat menahan goncangan-goncangan yang disebabkan oleh kapal dan muatan akibat pengaruh cuaca buruk.

Selain itu Nahkoda sebagai pimpinan tertinggi di atas kapal harus menetapkan beberapa kebijakan untuk diperhatikan oleh bawahannya untuk dilaksanakan yang masih termasuk dalam tahap persiapan ketika berlayar. dalam musim penghujan dimana rawan akan terjadinya cuaca buruk, seperti yang diuraikan dalam IMARE (Ketentuan ILO Mengenai: Pencegahan Kecelakaan Di Atas Kapal Laut Dan Di Pelabuhan) – IMARE/BAB 20/ Rev.00. (ILO,2000:8), yaitu:
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika cuaca buruk adalah sebagai berikut:
1.     Tali-tali penyelamat harus dipasang ditempat-tempat yang diperlukan sebagai tindakan antisipasi kalau cuaca buruk terjadi.
2.     Bahaya terhadap orang-orang yang berada di deck ketika cuaca buruk harus diperhatikan.
3.     Tidak seorangpun Awak kapal diperbolehkan berada di deck ketika cuaca buruk, kecuali keadaan mendesak dan perlu demi keselamatan Awak kapal dan kapal.
4.     Untuk mengantisipasi cuaca buruk semua pengikatan muatan deck harus diperiksa dan dikencangkan, jika perlu pekerjaan di deck pada saat cuaca buruk harus dengan seizin Nahkoda dan petugas jaga di anjungan harus diberi tahu.
5.     Setiap orang yang ditugaskan di deck pada cuaca buruk harus memakai rompi penyelamat atau pelampung dan dilengkapi dengan alat penghubung radio (Transceiver). Orang tersebut harus terus menerus berhubungan radio dan terlihat oleh orang yang membantunya (Back up persons).
6.     Awak kapal di deck harus menggunakan pakaian yang berwarna terang (Reflective Colour).
7.     Awak kapal harus bekerja berpasangan atau dalam kelompok dan harus dibawah pimpinan seorang Perwira senior yang berpengalaman.

Dalam sebuah pelayaran Nahkoda tentunya sebagai Mualim paling senior, tentunya akan lebih mengetahui dan lebih bisa mengidentifikasi apabila akan terjadi cuaca buruk terutama pada awal bulan September sampai dengan awal Maret untuk mengantisipasi adanya thypoon, seperti yang dikemukakan dalam Ilmu Cuaca untuk STRATA-A. (PLAP,1986:87), yaitu:
Unsur-unsur yang menandakan adanya atau mendekatnya siklon tropika yaitu:
1.   Tekanan Udara:Di daerah tropika dalam keadaan biasa, tekanan udara tidak pernah menyimpang jauh dari nilai rata-ratanya (untuk wiilayah dimana kapal yang bersangkutan berada). Dengan demikian, maka jika terdapat penyimpangan tekanan udara sampai turun jauh dibawah nilai normalnya meka hal ini menandakan adanya sebuah siklon tropika yang mendekati posisi kapal penilik.
2.   Angin:Penyimpangan arah angin terhadap keadaan rata-rata arah angin di wilayah yang bersangkutan menunjukan pula adanya sebuah siklon tropika yang mendekati posisi kapal penilik.
3.   Alun:Di daerah siklon tropika, hadirnya alun juga dapat menunjukan adanya siklon tropika di daerah sekitar posisi penilik. Hal ini mudah dimengerti karena alun yang bersumber pada pusat siklon tropika itu, berjalan ke segala jurusan, dan karena kecepatan berjalannya alun itu adalah lebih besar dari pada kecepatan geser siklon tropika yang bersangkutan, maka hadirnya alun itu merupakan tanda kemungkinan adanya sebuah siklon tropika disekitar posisi kapal penilik.
4.   Awan:Awan-awan cirrus dan cirro cumulus yang tersusun dalam barisan yang menuju ke suatu pusat langit, dapat pula menendakan adanya sebuah siklon tropika disekitar posisi kapal penilik.

Selain Nahkoda, semua Perwira di atas kapal harus dipastikan menguasai akan hal-hal di atas.
Setelah melakukan persiapan yang matang, maka selanjutnya kapal harus dilayarkan sesuai dengan prosedur, baik untuk Perwira jaga yang akan melakukan dinas jaga, maupun semua ABK yang akan melakukan pekerjaan harian di dek selama dalam pelayaran.
Setiap Perwira jaga harus senantiasa melakukan pengamatan sesuai dengan aturan 5 Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut (P2TL), atau Collision Regulation 1972, (IMO,1972:5), yaitu:
Setiap kapal harus melakukan pengamatan yang layak, baik dengan penglihatan dan penginderaan, maupun dengan semua sarana yang tersedia yang sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada sehingga dapat membuat penilaian sepenuhnya terhadap situasi dan bahaya tubrukan.

Setiap Perwira jaga harus senantiasa melakukan pengamatan yang baik dan maksimal menurut standar prosedur yang telah ditetapkan dalam STCW 1978,
selain itu dalam administrasi dan penjadwalannya harus diatur, termasuk  semua ketentuan-ketentuan tentang tugas jaga, juga harus dijelaskan bagaimana pengaturan dan pembagian dari tugas jaga ini, seperti yang telah dikemukakan dalam Program Pemutakhiran (Updating) dari STCW 1978 Amandement 1995 tentang “Watch Keeping Deck” Dinas Jaga 2001. (IMO,2001:4), yaitu tentang:
1.    Jaga laut (Watch at sea).
Dalam 1 hari, jaga laut dibagi 3 regu dengan masing-masing regu bertugas 4 jam siang dan 4 jam malam sehingga setiap regu bertugas selama 8 jam dalam sehari, bagian deck dan bagian mesin sama-sama menggunakan pembagian tersebut di atas, tetapi bagian radio (jika ada) menggunakan 2 regu saja.
Petugas jaga adalah Perwira-perwira bagian deck (Mualim) dan mesin (Ahli Mesin Kapal) serta Able Body (Juru mudi) dan Oiler (Tukang minyak) yang pembagian tugasnya sesuai dengan jabatan dan perintah Nahkoda.
2.    Tugas-tugas Perwira jaga (Mualim).
a.   Bernavigasi sesuai dengan P2TL (Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut), peraturan pedalaman dan setempat untuk menjamin keselamatan.
b.   Berolah gerak terhadap kapal lain sesuai dengan instruksi Nahkoda.
c.   Adakan pengamatan keliling dengan seksama, laporkan kepada Nahkoda bila terjadi kelainan-kelainan dan laksanakan sesuai perintahnya. Bilamana dalam keadaan darurat bilamana perlu ambil tindakan terlebih dahulu dan segara laporkan kepada Nahkoda.
d.   Usahakan kapal selalu pada haluan yang ditentukan dan diambil posisi secara teratur.
e.   Peralatan-peralatan navigasi dijaga agar selalu dalam keadaan baik dan diperiksa kesalahannya (error) setiap saat.
f.     Pelajari ramalan cuaca dan laporkan bila perlu.
g.   Mengirim dan menerima isyarat.
h.   Bertanggung jawab atas keselamatan di laut.
i.     Mengukur dan menghitung kedalaman laut.
j.     Catat dalam buku harian kapal setiap kejadian selama pelayaran.
k.    Waktu serah terima jaga, dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Disamping harus melakukan dinas jaga dengan benar, Perwira jaga juga harus melaporkan tentang keadaan disekitar dan pengaruhnya terhadap navigasi dan mencatatnya dalam log book sebagai pertanggung jawaban atas jam jaganya dia yang kemudian dilaporkan ketika melakukan serah terima jaga, seperti yang dijelaskan dalam Program Pemutakhiran (Updating) dari STCW 1978 Amandement 1995 tentang “Watch Keeping Deck” Dinas Jaga 2001. (IMO,2001:5), yaitu:
3 Hal yang perlu diperhatikan sebelum jaga.
1.   Mempelajari alur pelayaran dan keadaan cuaca untuk mengetahui lebih dulu apa yang akan dijumpai nanti selama jaga, agar tidak terlalu sering melihat peta waktu jaga.
2.   Memeriksa dan mempelajari dengan seksama buku perintah Nahkoda dan sesuaikan segala sesuatunya dengan yang diserah terimakan oleh petugas jaga sebelumnya.
3.   Tiba di anjungan minimal 5 menit sebelum waktu pergantian dan menerima jaga dengan memahami semua catatan dan perhatian yang belum dibuat oleh Perwira jaga sebelumnya, pada waktu malam hari, datanglah keanjungan lebih dulu untuk menyesuaikan penglihatan mata dalam kegelapan.
Hal-hal yang harus diserah terimakan.
1.   Posisi kapal yang tepat pada saat itu
2.   Haluan, kecepatan, jarak yang ditempuh, keadaan alat-alat navigasi dan haluan yang dikemudikan.
3.   Koreksi kompas magnet bila ada.
4.   Informasi tentang kapal lain, obyek baringan, lampu-lampu suar dan sebagainya yang kelihatan saat itu.
5.   Obyek-obyek yang akan kelihatan berikutnya.
6.   Nama-nama obyek terakhir yang baru diamati, posisi dan waktu pengambilan posisi.
7.   Data cuaca, keadaan laut, arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap Kapal.
8.   Keadaan lampu-lampu navigasi (bila malam hari) dan bagian-bagian yang dibuka seperti palka dan sebagainya.
9.   Perintah-perintah lisan atau khusus lainnya dari Nahkoda.
10.               Mengamati cuaca dan mengambil tindakan untuk mengatasi cuaca buruk sesuai kebutuhan yang diperlukan.
11.               Meronda keliling kapal, periksa air got dan kemungkinan banjir, kebakaran dan pencurian.
12.               Hal-hal penting lainnya dan pada waktu serah terima jaga, petugas jaga yang baru melapor kepada Nahkoda bila perlu.

Meski dalam pelaksanaannya Nahkoda dapat melepas Perwiranya untuk melakukan tugas jaga sebagaimana mestinya, tetapi Nahkoda juga harus selalu mengontrol dan melakukan pengawasan termasuk melakukan pemeriksaan terhadap hasil kerja para Perwiranya, sesuai dengan ketentuan dalam SOLAS Consolidated Edition, 2001.yang tercantum dalam BAB IV peraturan ini mengenai keselamatan pelayaran. (IMO,2001:365), bahwa:
Setiap Nahkoda dari setiap kapal yang ketika bernavigasi bertemu dengan cuaca buruk seperti es, badai tropis, angin dengan kecepatan 10 pada skala Beaufort atau lebih atau bahaya navigasi lain yang dapat membahayakan pelayaran harus mengirimkam berita bahaya kepada semua kapal dalam jangkauan dan mengadakan komunikasi dengan mereka atau dengan radio pantai setempat dengan prosedur sesuai yang diatur dalam regulasi 2 BAB IV.
Dalam hal ini, seharusnya semua Perwira jaga mengetahui untuk melakukan tindakan ini sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan sedini mungkin dan kapal dalam kondisi siap untuk bernavigasi memasuki cuaca buruk, seperti yang dijelaskan dalam Program Pemutakhiran (Updating) dari STCW 1978 Amandement 1995 tentang “Watch Keeping Deck” Dinas Jaga 2001. (IMO,2001:7), yaitu:
Komunikasi dengan stasiun lainnya dan pengamatan keliling.
1.      Perhatikan keluar dan masuknya perahu-perahu kecil (sampan).
2.      Mengatur tangga akomodasi (gang way) dan berikan perhatian terhadap pemakai tangga, juga memperhatikan orang yang keluar masuk kapal.
3.      Melakukan semboyan-semboyan atau komunikasi dengan kapal disekitarnya atau stasiun pantai diperlukan.
4.      Pada waktu pemuatan perbekalan atau membongkar peralatan kapal, berikan catatan bilamana perlu dan awasi pemuatan dan pembongkaran yang sedang berlangsung.

Pemberitaan yang dilakukan oleh pihak kapal tentunya harus dilakukan sesuai dengan prosedur pemberitaan dalam GMDSS supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengiriman berita seperti yang dikemukakan dalam Global Maritime Distress Safety System (understanding the GMDSS the new marine communication system) – Waterline – UK 1998. (John Campbell,1998:56), bahwa:
Prosedur pengiriman berita
Kita harus ingat bahwa sebuah penggilan Distress hanya boleh digunakan ketika sebuah kapal atau orang dalam situasi yang berbahaya dan memerlukan pertolongan dengan segera, sebuah panggilan Distress hanya boleh dilakukan atas perintah langsung dari Nahkoda kecuali dalam keadaan yang sangat berbahaya. Sehubungan dengan panggilan Distress, maka perlu kita ketahui:
Pengiriman berita Distress
Walaupun ada bermacam-macam alat pada control unit DSC akan mempunyai sebuah tombol Distress yang tertanda jelas dan biasanya ditutup dengan safety flap, untuk mengirim sebuah berita Distress dilakukan langkah-langkah berikut:
1.   Tekan tombol Distress untuk memulai panggilan
2.   Pilih gelombang dimana seharusnya berita Distress dikirim pada VHF, MF, atau HF.
3.   Radio harus dinyalakan pada gelombang Distress DSC yang dipilih. DSC bisa bekerja secara otomatis, tetapi jika tidak harus dilakukan secara manual.
4.   Jika waktu mengijinkan, pilih pada layar menu jenis kejadian, posisi kapal  (jika tidak otomatis dari GPS), dan waktu UTC ketika itu.
5.   Jika waktu memungkinkan pilih jenis Distress seperti grounding abandon ship, fire on board, piracy attack dan sebagainya sesuai dengan yang terjadi di kapal anda.
6.   Pilih jenis komunikasi yang diinginkan dengan suara atau telex dan frequensi yang digunakan.
7.   Kirim berita Distress dengan menekan dua kali tombol Distress atau tombol lain (jika jenis alatnya berbeda).
8.   Mempersiapkan untuk saluran yang dipilih dengan menyalakan radio pada gelombang yang digunakan untuk mengirim berita dan menunggu persetujuan dari kapal lain, stasiun pantai, atau RCC setempat.

Pengiriman berita juga dilakukan dengan peralatan GMDSS yang memenuhi persyaratan sehingga berita yang dikirim dapat menjangkau stasiun radio yang kita tuju dengan pertimbangan posisi dimana kapal kita berada, seperti yang diterangkan dalam Global Maritime Distress Safety System (understanding the GMDSS the new marine communication system) – Waterline – UK 1998. (John Campbell,1998:15), bahwa:
Area GMDSS dan peralatan yang disyaratkan.
1.   Area A1:Daerah perairan sampai sejauh 20 mil dari garis pantai, dengan stasiun pantai yang dilengkapi dengan DSC (Digital Selective Calling). Peralatan GMDSS kapal yang disyaratkan adalah:
Very High Frequency (Radio VHF); jangkauan komunikasi DSC VHF adalah sekitar 20-30 mil dari garis pantai.
2.   Area A2:Daerah perairan sampai sejauh 70 mil dari batas luar Area A1, dengan stasiun pantai yang dilengkapi dengan DSC (Digital Selective Calling). Peralatan yang disyaratkan adalah:
Medium Frequency (radio MF); Jarak jangkauan untuk sinyal MF adalah sekitar 100 mil dari garis pantai.
3.   Area A3:Area yang merupakan daerah jangkauan Inmarsat Geostationary Communication Satellites. Area efektifnya adalah diantara lintang 70º Utara sampai 70º Selatan. Peralatan yang disyaratkan adalah:
International Maritime Satellites (INMARSAT A, B, dan C), baik untuk kapal maupun stasiun pantai.
4.   Area A4:Area ini tidak termasuk kedalam semua area di atas, A4 mencakup daerah-daerah lintang tinggi, di atas lintang 70º Utara/Selatan. Perlatan yang disyaratkan adalah:
High Frequency (radio HF); jangkauan sinyal HF adalah seluruh permukaan bumi (Area A1, A2, A3, dan A4).

Selain dengan menggunakan peralatan yang benar dan prosedur pengiriman yang sesuai, pengiriman berita juga harus dilakukan dengan menggunakan bahasa internasional yang telah ditetapkan, supaya tidak terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam penafsiran yaitu bahasa Inggris, seperti yang telah ditetapkan dalam Standard Marine Communication Phrases. (IMO,2004:95), bahwa:
Komunikasi dalam Distress menggunakan istilah “selonce mayday” dan dimulai dengan posisi yang tepat seperti:
May Day – Kata may day berarti menidentifikasikan bahwa berita yang dikirim adalah berita Distress.
Identity of Distressed Vessel – Identitas kapal yang sedang dalam keadaan bahaya yang paling utama adalah nomor MMSI kapal sehingga nama kapal dan call signnya bisa diidentifikasi oleh DSC prosedurnya diulang tiga kali.
This is – Identitas kapal anda nomor MMSI juga nama kapal dan call signnya diulang tiga kali.
Received May Day – artinya menerima dan menyetujui berita Distress untuk melakukan tindakan dan memberikan pertolongan kepada kapal yang dalam keadaan Distress.
Over – Artinya ganti (bahasa radio) maksudnya berita selesai dan mempersilahkan untuk melanjutkan komunikasi.

Apabila setelah melakukan komunikasi dengan mengirim berita dengan peralatan GMDSS yang sesuai dengan prosedur yang sesuai dengan posisi area dimana kapal itu berada, tetapi kapal melaju semakin dekat dengan thypoon, maka para Perwira kapal harus mengetahui bagaimana teknik untuk bernavigasi di daerah thypoon, apakah kapal masih berada pada sisi aman untuk bernavigasi atau  tidak, seperti yang dikemukakan dalam Meteorology For Mariners Third Edition dalam BAB 11 buku ini dijelaskan tentang pergerakan dari siklon tropis, dan peraturan teknik praktis untuk menghindari pusat dari sebuah siklon tropis, (Her Majesty Stationary Office,2002:145) yaitu sebagai berikut:
1.   Pergerakan (secara umum).
Siklon tropis secara umum bergerak dengan perlambatan yang mengacu pada rata-rata perlambatan troposphere dalam putarannya. Seperti kebanyakan mereka berasal dari titik yang hampir sama di daerah equator menuju salah satu kutub seperti contoh dalam pergerakan angin kebanyakan dari mereka biasanya biasanya bergerak dari timur ke barat dengan sedikit menuju arah kutub.
Sementara bergerak dengan jalur ke barat siklon bergerak relatif lambat sekitar 8 sampai 10 Knots. Pergeserannya ke lintang tinggi dalam banyak kejadian pergerakan menuju kutub meningkat secara drastis ketika siklon berada pada ujung terbarat sampai siklon tersebut menghilang.
Pada saat inilah mulai dipengaruhi oleh angin barat dan akhirnya bergerak menuju barat daya (Hemisphere utara) atau tenggara (Hemisphere selatan) dan percepatannya bisa sampai 20 atau 25 Knots. Ciri khas dari bentuk parabola dari siklon tropik bisa kita lihat pada Lampiran –lampiran yang diilustrasikan oleh gambar 11-5. Titik dari jalur berbentuk kurva adalah yang terbesar seperti hidung dari parabola sering menjadi acuan sebagai titik rekurva.
Walaupun parabola adalah bentuk pergerakan siklon yang biasanya terjadi tetapi terkadang mereka bergerak hanya dengan lintasan pendek ke barat atau berlawanan dari arah biasanya tergantung dari posisi dan musim.
2.   Teknik untuk menghindari pusat dari sebuah siklon tropis.
Berdasarkan kenyataan semua sektor siklon tropika adalah bercuaca buruk dan amat berbahaya, akan tetapi dalam navigasi laut ada sektor-sektor yang di sebut “Dangerous Semi-Circle” dan “Navigable Semi-Circle” dari sebuah siklon tropika dangerous semi-circle adalah sektor setengah lingkaran dari siklon tropika dimana kapal-kapal yang sudah berada didalamnya sulit untuk melarikan diri dari pusat siklon tropika.
Sedangkan yang dimaksud dengan navigable semi-circle adalah bagian setengah lingkaran dari siklon tropika dimana kapal-kapal yang sudah ada didalamnya masih dapat melarikan diri dari pusat siklon tropika tersebut.
Pada siklon tropika di belah bumi utara yang merupakan dangerous semi-circlenya adalah right hand semi-circlenya dan navigable semi-circlenya adalah left hand semi-circlenya, sedangkan di belah bumi selatan sebaliknya.

Keselamatan dalam bernavigasi untuk setiap kapal tentunya tidak cukup apabila hanya semua persiapan hanya dilakukan oleh kapal secara sepihak, akan tetapi dalam bernavigasi tentunya melibatkan berbagai pihak seperti kapal lain, stasiun pantai, pelabuhan, Pandu, dan penandaan-penandaan di laut seperti pelampungan, suar dan sebagainya, maka semua ketentuan tentang pihak-pihak yang terlibat telah diatur dalam SOLAS Consolidated Edition, 2001. dalam BAB IV peraturan ini mengenai keselamatan pelayaran. (IMO,2001:359), bahwa:
1.   Persyaratan dari informasi yang akan dikirimkan dalam pengiriman berita bahaya untuk masing-masing jenis bahaya dan keterangan-keterangan yang bisa mengidentifikasi dari bahaya yang sedang dihadapi sehingga dapat memberikan kejelasan kepada yang menerima informasi.
2.   Pelayanan-palayanan dalam masalah cuaca seperti ramalan cuaca dan sebagainya oleh pemerintah Negara pantai sehingga dapat membantu para Navigator untuk melakukan tindakan antisipasi.
3.   Penentuan rute pelayaran sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk efisiensi pelayaran dan untuk perlindungan lingkungan laut dan yang paling utama mendukung kelancaran operasional kapal.
4.   Sistem pelaporan kapal tentang jenis kapal dan karakteristik partikularnya, barang yang dibawanya beserta jumlah Awak dan laporan tentang pelayarannya, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam konvensi PBB tentang hukum laut international.
5.   Pelayanan-pelayanan lalu lintas kapal yang diadakan oleh Negara pantai di daerah pelayaran ramai mengenai daerah tersebut dan semua pelayanan dalam bernavigasi.
6.   Signal keadaan bahaya termasuk isyarat bunyi dan lampu juga pengiriman berita melalui peralatan GMDSS.
7.   Penyediaan sarana bantu navigasi sesuai yang disyaratkan untuk masing-masing jenis kapal, berat kotor, dan tahun dibuatnya.
8.   Tanda-tanda navigasi seperti pelampungan suar dan lain-lain yang diambil alih oleh pemerintah Negara pantai baik dalam penataan dan perawatannya.
9.   Tim penolong atau SAR yang bertempat di stasiun pantai dan dibawah Negara pantai juga untuk pengadaan fasilitas dan perlengkapannya.
10.               Life saving signals harus tersedia dan siap digunakan oleh stasiun penyelamat untuk kegiatan penyelamatan dan pencarian juga harus tersedia disetiap kapal seperti pada pemberlakuan dari BAB ini.
11.               Penggunaan auto pilot dan steering gear di daerah tertentu yang menyaratkan untuk menggunakan lebih dari 1 steering gear serta perawatannya, pengetesan, dan drill.
12.               Publikasi nautika seperti Admiralty Sailing Direction (ASD), Admiralty Lists of Lights and Radio Signals (ALRS), Notices To Mariners (NTM), Admiralty Tides Tables (ATT) dan publikasi-publikasi lainnya. Dan disyaratkan semua kapal menggunakan peta yang paling baru dan selalu dikoreksi.
13.               Pembatasan-pembatasan operasional untuk kapal penumpang mengacu pada ketentuan dalam BAB I.

Setelah dapat melayarkan kapal dengan aman, tidak menutup kemungkinan akan adanya berita yang dikirim oleh kapal lain yang dalam keadaan bahaya, berita tersebut kita acknowledge apabila memungkinkan untuk kita tolong, akan tetapi apabila tidak memungkinkan maka kita harus mengirimkan berita Distress relay atau merelay berita dari kapal yang sedang dalam keadaan bahaya tadi.
Semua prosedur di atas merupakan metode standar dalam bernavigasi mulai dari persiapan, menjelang cuaca buruk, tindakan yang harus dilakukan ketika cuaca buruk dan peninjauan ulang yang harus dilakukan setelah melewati cuaca buruk dengan aman, yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan kecuali factor Act of God yang memang sangat sulit bahkan tidak dapat dihindari sama sekali seperti kejadian tsunami dan lain-lain.
Berikut akan disajikan daftar dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini beserta pengertiannya sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi dalam mengartikan istilah-istilah yang digunakan pada BAB-BAB sebelum dan sesudah pembatasan masalah ini.
Navigasi 


Lllife Saving Appiliances













Cyclon (Siklon)  








Thypoon












Mph







Knots


MarDep








Lashing



Kontainer






Pilot Ladder




Railing






Upper Deck





Tsunami








Tektonik dan Vulkanik





Act of God
 
Barometer

Skala Beaufort


































Frequensi

UTC



KHz
ETA



Container Carrier









Service Area          
:


:













:







:











:




:


:








:













:






:







:






:






:








:





:

:

:


































:

:






:
:


:










:

Seni membawa kapal dari suatu tempat ke tempat lain secara ekonomis dan aman.
Alat-alat penolong untuk menyelamatkan jiwa dalam keadaan bahaya di laut, alat-alat tersebut adalah seperti Lifebouy, Liferaft, Lifejacket, dan sebagainya. Life Saving Appiliances, disebut juga Life saving Equipment dan Life Saving Apparatus.
Jenis angin yang berkecepatan tinggi yang bergerak membentuk pusat seperti lingkaran dan bergerak secara parabolik.
Angin siklon tropis yang terbentuk di daerah samudera Pasifik selatan dan Laut China Selatan yang dinamai dengan nama perempuan untuk yang lebih berbahaya dibanding nama laki-laki.
Mil per Hour artinya jarak yang ditempuh dalam satuan mil dalam setiap jamnya.
Ukuran kecepatan kapal laut, 1 knot = jumlah mil laut yang ditempuh kapal selama 1 jam berlayar.
Marine Departement, sebuah departemen yang mengelola permasalahan dalam dunia kelautan termasuk dalam melakukan pemberitaan terhadap cuaca dan bahaya navigasi lainnya.
Peralatan yang digunakan untuk mengamankan kotainer yang ditempatkan di atas deck yang terdiri dari Twistlock, Turnbuckle, Lalshing Bar, dan Bridge fitting.
Peti yang terbuat dari bahan corton yang digunakan sebagai kemasan dari barang yang diangkut didalamnya.
Tangga portable yang dipasang untuk digunakan Pandu sebagai media untuk menaiki kapal dan hanya dipasang ketika Pandu akan naik ke kapal disisi yang disyaratkan oleh Pandu setempat.
Pagar besi di kapal yang dipasang dengan tujuan untuk keselamatan Awak kapal maupun Penumpang.
Deck utama disebut juga weather deck karena posisinya yang langsung bersentuhan dengan udara luar.
Gempa tektonik yang terjadi di perairan dalam suatu wilayah dan menyebabkan terjadnya air bah yang mencapai ketinggian puluhan meter ke daratan disekitar pantai tersebut
Jenis gempa berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu dari patahan bumi dan letusan gunung berapi.
Takdir Tuhan atau kekuasaan Tuhan.
Alat pengukur tekanan udara.
Ukuran kekuatan angin yang dinyatakan dalam satuan angka yang disebut Knots, dengan kekuatan angin tertinggi adalah 17 atau 118 Knots, namun dalam prakteknya angka 12 sudah dianggap kekuatan angin yang sangat berbahaya. Nama skala angin tersebut diambil dari nama Admiral Sir Francis Beaufort seorang Perancis yang menemukan dan memperkenalkan skala ini pada tahun 1806.
Banyaknya getaran tiap detik.
Standar waktu internasional yang berpusat di Greenwich pada bujur 0° sebagai pusatnya.
Satuan untuk frequensi. (Kilo Hertz)
Estimate Time Arrival atau perkiraan waktu tiba kapal di pelabuhan tujuan.
Perusahaan pelayaran atau Operator kapal yang bertindak selaku pengangkut (Carrier) memiliki kontainer sendiri, sehingga pemilik barang tidak perlu lagi menyewa peti kemas dari pihak ketiga, melainkan langsung menggunakan peti kemas tersebut.
Daerah operasi yang dilayari oleh kapal untuk melayani Konsumen yang ada di daerah tersebut.

B.  KERANGKA PEMIKIRAN
OPTIMALISASI DALAM BERNAVIGASI DI CUACA BURUK
                                                                       
 BAB III

METODE PENELITIAN

A.  WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
1.       Waktu Penelitian
Penulisan SKRIPSI ini dilakukan dengan sebuah penelitian pada waktu melaksanakan proyek laut selama satu tahun yang dimulai dari tanggal 24 September 2004 sampai dengan tanggal 24 September 2005.
2.       Tempat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini bertempat di atas kapal MV.WAN HAI 263 kontainer carrier vessel dengan services area ChinaMiddle East services dengan pelabuhan yang disinggahi:
Shang Hai ( China) – Da Lian (China) – Tian Jin (China) – Qing Dao (China) – Ning Bo (China) – Hong Kong (China) – Singapore (Singapore) – Port Klang (Malaysia) – Dubai (Uni Emirat Arab) – Karachi (Pakistan) – Nhava Sheva (India) – Tuticorin (India) – Port Klang (Malaysia) – Hong Kong (China).
Penelitian yang dilakukan bertempat di lautan yang dilayari oleh kapal

kami dan perairan yang dilewati adalah:
Selat Korea – Laut Kuning - Laut China Utara– Laut China Selatan – Selat Taiwan – Selat Malaka – Lautan Hindia Bagian Barat - Lautan Hindia Bagian Timur - Laut Tengah – Teluk Persia.
B.  TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam penulisan skripsi ini, dilakukan penelitian dengan menggunakan metode pendekatan dengan menggambarkan semua permasalahan yang sedang dihadapi yang berlandaskan dari data-data yang diperoleh selama penelitian berlangsung.
Teknik pengumpulan data yang digunakan tersebut, antara lain:
1.       Observasi
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian yaitu:
Ketika dilaksanakan proyek laut selama satu tahun di atas kapal MV.WAN HAI 263, tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 sebagai Deck Cadet, terutama pada bulan September - Desember di Laut China Selatan dan pada bulan Juni - Agustus di Samudera Hindia, dimana keadaan laut dalam kondisi cuaca yang buruk.
2.           Wawancara (Nonformal)
Untuk melangkapi data yang ada dilakukan beberapa kali wawancara nonformal dalam kegiatan sehari-hari dengan Nahkoda dan para Mualim,
terutama Mualim 2 pada kapal MV.WAN HAI 263 yang bertanggung jawab dalam masalah navigasi juga dengan AB yang pada saat itu menjadi korban sehingga dapat lebih meyakinkan Pembaca juga sebagai bahan acuan didalam mendeskripsikan data dan mempermudah dalam proses penganalisaannya.
C.  TEKNIK ANALISIS NON STATISTIK
Pada penulisan skripsi ini, digunakan metode pendekatan dengan menggambarkan secara keseluruhan permasalahan ketika bernavigasi dalam cuaca buruk di atas kapal MV.WAN HAI 263 dan melakukan studi kasus terhadap permasalahan di atas untuk menemukan pemecahannya sebagai solusi yang bisa diambil untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, berdasarkan teknik yang digunakan di atas maka dalam skripsi ini digunakan metode analisis non statistik Deskriptif  Qualitatif.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  DESKRIPSI DATA
Kecelakaan pelayaran adalah suatu hal yang paling tidak diharapkan oleh semua pihak, kerena dampak yang akan dirasakan sangat besar, selain akan menghambat atau bahkan menyebabkan lumpuhnya operasional kapal, juga akan menimbulkan kerugian bagi semua pihak dan yang paling utama menyangkut masalah keselamatan jiwa di laut.
Kecelakaan pelayaran dapat terjadi karena berbagai sebab, di antaranya adalah human error, faktor alam, dan faktor kesalahan teknis dilapangan, dari ketiga penyebab kecelakaan di atas sumber daya manusia sangat memegang peranan penting karena sebagai manager sekaligus eksekutor manusia dituntut untuk mempunyai kecakapan yang handal terutama dalam permasalahan bernavigasi yang baik, menguasai semua peralatan bantu navigasi juga kemampuan berbahasa dan komunikasi yang baik.
Dari uraian-uraian yang telah dijelaskan dalam pembahasan masalah sebelumnya, bahwa upaya peningkatan pengetahuan para Perwira tentang bagaimana cara bernavigasi yang baik dalam cuaca buruk, mulai dari

identifikasi thypoon, persiapan kapal sebelum berlayar, sampai bermanuver maupun tentang penggunaan alat-alat bantu navigasi terutama yang berhubungan dengan pemberitaan cuaca dan kemampuan berbahasa Inggris sangatlah penting dikarenakan selain menambah kapabilitas para Perwira, juga menambah skill dan teknik yang terbaik dalam menghindari cuaca buruk dalam suatu pelayaran yang akan mendukung kelancaran operasional kapal, maka berikut ini akan digambarkan permasalahan dari beberapa contoh kasus yang terjadi.
Adapun kejadian yang terjadi akibat cuaca buruk pada kapal MV. WAN HAI 263 selama periode 2004-2005 adalah sebagai berikut:
1.         Memasuki awal musim dingin pada sekitar awal Oktober 2004 di daerah Laut Cina Selatan yang merupakan tempat konsentrasi daerah udara bertekanan rendah dengan perbedaan tekanan yang tinggi, pada saat itu kapal pulang dari Samudera Hindia tepatnya dari Dubai ( Uni Arab Emirat )-Karachi ( Pakistan )-Nhava Sheva ( India )-Tuticorin ( India )-Port Klang ( Malaysia ).
Kapal menuju Hong Kong ( Cina ) tepatnya dengan deskripsi data pelayaran sebagai berikut:
Date & Time         : 13 Oktober 2004.
Voyage Number   : 38 East.
From                    :  Port Klang (Malaysia)
To                        :  Hong Kong (Cina)
Last Port of Call   :  Tuticorin (India)
Crew on Board     : 20 Persons
Loading Condition: 1800 TEU’s
Kapal berlayar dari Port Klang (Malaysia) pada Kamis dini hari pukul: 04:49 waktu setempat, kapal bergerak dengan kecepatan 21 Knots, di terima berita dari weather faximile (Japan Meteorologycal Agencies) juga dari navtex (sentosa radio), bahwa terjadi daerah konsentrasi udara bertekanan rendah dengan tekanan sebesar 940 HPA dan terjadi pembentukan thypoon di sebelah selatan Jepang yaitu tepatnya pada posisi 21°48.00 Lintang Utara-131°48.00 Bujur Timur di Samudera Pasifik Selatan yaitu di Selatan Pulau Minamidaitojiwa ketika jam jaga Mualim 1 yaitu 04:00-08:00 pagi.
Thypoon yang bernama “KIROGI” ini bergerak dengan kecepatan 740 Mph atau sekitar 640 Knots menuju Selat Taiwan dengan kecepatan angina maksimal 85 Knots dipusatnya dan berkecepatan 50 Knots dengan radius 60 Mil dan 30 Knots dengan radius 200 Mil, tepatnya dengan rute sebagai berikut:
Perkiraan posisi untuk jam 14:12 UTC pada 23°12.00 Lintang Utara-132°06.00 Bujur Timur dengan radius 80 Mil dari 70% lingkaran badainya, perkiraan posisi untuk jam 15:12 UTC pada 24°54.00 Lintang Utara-132°42.00 Bujur Timur dengan radius 150 Mil dari 70% lingkaran badainya, perkiraan posisi untuk jam 16:12 UTC pada 24°30.00 Lintang Utara-134°00.00 Bujur Timur dengan radius 220 Mil dari 70% lingkaran badainya.
Samudera Pasifik Selatan - Kepulauan Luzon (Philipina) - Selat Taiwan (Taiwan) - Laut Cina Utara (China) - Selat Korea (Korea Selatan).
Karena tidak ada laporan dari Mualim jaga saat itu bahwa telah diperoleh berita dari navtex setempat dan Japan Meteorological Agencies tentang adanya Thypoon “KIROGI”, maka Nahkoda memerintahkan kapal terus melaju dengan kecepatan 21 Knots dan memotong thypoon sehingga Mualim 1 sebagai Perwira senior juga tidak mengetahui dan tidak memerintahkan Bosun untuk mengencangkan pengikatan pada semua kontainer, akibatnya pada posisi 21º00.00 Lintang Utara-128º-30’-50” Bujur Timur.
Stabilitas kapal terganggu dan menyebabkan pengikatan pada kontainer kendur dan semua alat-alat keselamatan seperti life bouy dan self igniting light beserta kotak pengamannya yang ditempatkan di upper deck hilang, serta hampir semua reefer plug cover hilang tertiup angin, goncangan terjadi sangat hebat sekitar selama 2 jam, saat itu waktu menunjukan Pukul 03:00-05:00 keberangkatan waktu setempat, kejadian ini tidak berlangsung lama karena thypoon akhirnya bergerak menjauhi Selat Taiwan menuju ke Laut China Utara sebelum akhirnya padam di Selat Korea, dan akhirnya kapal selamat menuju Hong Kong.
Keesokan harinya Mualim 1 memerintahkan Bosun untuk memeriksa dan mengencangkan kembali semua pengikatan kontainer karena masih menyisakan perjalanan 1 hari untuk sampai ke Hong Kong, Bosun dan Pekerja harian menemukan hampir semua pengikatan pada kontainer kendur dan ralling sebelah kiri patah pada fender No. 10 Bay No. 27, juga Pilot ladder sebelah kiri hanyut terbawa ombak, dan semua alat-alat keselamatan yang ditempatkan di upper deck seperti life bouy dan self igniting light beserta kotak pengamannya hilang.
Setelah mendapat laporan dan melakukan inspeksi pagi harinya bersama Nahkoda, Mualim 1 memerintahkan Bosun juga untuk memasang Pilot ladder cadangan, mencatat semua kerusakan yang terjadi serta menuliskan jumlah dan jenis alat-alat keselamatan yang hilang bersama Mualim 3 dan memerintahkan Kepala Kamar Mesin supaya menyuruh Fitternya untuk mengelas kembali ralling yang patah meskipun tidak mungkin untuk memperbaikinya secara total dikarenakan kapal tidak membawa ralling cadangan.
Nahkoda membuat damage report untuk diserahkan kepada pihak Superintendent perusahaan yang berisikan tentang kronologis kejadian ini serta mengirimkan facsimile kepada perusahaan untuk meminta pengadaan kembali semua peralatan yang hilang dan menyiapkan teknisi dan tukang las dari darat untuk membantu para pekerja kapal.
Kapal selamat tiba di Hong Kong dengan tepat waktu, sesampainya di Hong Kong pihak Superintendent kapal bersama Agent  datang menemui Nahkoda untuk menerima laporan yang ditulis Nahkoda untuk perusahaan, setelah itu meraka melakukan pengecekan ke seluruh bagian kapal untuk memeriksa kebenarannya.
Nahkoda memerintahkan semua pekerja harian untuk tidak pergi pesiar dikarenakan pekerjaan yang masih harus dilakukan untuk membenahi semua kerusakan dengan bantuan orang darat, akhirnya semua kerusakan bisa diperbaiki sebelum keberangkatan menuju pelabuhan berikutnya yaitu Shang Hai, semua ralling sudah diperbaharui dan alat-alat keselamatan lengkap serta tangga pandu cadangan telah diganti, dan kapal berangkat menuju Shang Hai pada hari sabtunya.
2.          Kejadian selanjutnya masih pada tempat yang sama yaitu pada pelayaran menuju Hong Kong dan Thypoon “KIROGI”, setelah dilakukan pembacaan pada weather fax dari pergerakan Thypoon tersebut yang searah dengan rute kapal yaitu ke utara menuju Laut China Utara kapal mengalami kondisi stabilitas yang sangat mengkhawatirkan, sehingga mengalami olengan yang cukup hebat pada saat itu Thypoon “KIROGI” bergerak menuju Selat Korea, sedangkan kapal berbelik menuju Hong Kong dan kondisi semakin membaik.
Kondisi cuaca semakin membaik dan goncangan yang dirasakan tidak terlalu parah, akan tetapi kami mendapat laporan dari hasil wawancara dengan Mualim 2 kapal tersebut bahwa pada saat itu kondisi loading kapal mengangkut reefer kontainer sejumlah 150 FEUs yang harus di cek setiap habis jam jaga oleh AB jaga.
Ketika cuaca buruk berlangsung, ketika itu pada waktu jam jaga Mualim 1, seorang Juru mudi (Able bodied/AB) diperintahkan untuk memeriksa temperatur reefer kontainer sehabis jam jaganya, AB tersebut memeriksa kondisi reefer container yang berada pada palka 12, 11, 10 dan 9, tetapi melihat kondisi cuaca yang sangat buruk Dia memutuskan untuk kembali ke anjungan untuk memberikan laporan bahwa tidak memungkinkan untuk diadakan pengecekan ke palka selanjutnya dikarenakan air laut masuk keatas kapal dan mencapai ketinggian 2 tare dengan tanpa membawa radio VHF untuk komunikasi dan tanpa mengenakan life jacket sehingga bagian pergelangan kakinya terluka akibat terhempas ombak ketika hendak masuk ke ruang akomodasi untuk kembali ke anjungan dan menuliskan laporannya tersebut.
AB tersebut baru naik ke anjungan setelah masuk jam jaga Mualim 3 darena mengalami luka yang cukup serius dan kesulitan untuk berjalan, sementara para pekerja harian lainnya bekerja di messroom untuk melakukan pembersihan terhadap semua bagian dapur dan pantry sambil menunggu cuaca buruk selesai, walaupun sebenarnya Bosun mendapatkan perintah dari Mualim 1 untuk mengerjakan perbaikan lashing bridge palka 11 depan untuk melakukan derrasting dan mengecatnya sebagai pekerjaan untuk memenuhi jadwal perawatan dan perbaikan bulanan kapal.
Bosun memutuskan untuk melakukan pekerjaan didalam karena terlalu beresiko untuk melakukan pekerjaan di deck, dan tidak menghiraukan perintah Mualim 1 dengan pertimbangan bahwa kondisi cuaca tidak memungkinkan dan memerintahkan semua pekerja harian untuk bekerja didalam ruang akomodasi dan mengunci semua pintu keluar.
AB tersebut sampai dianjungan pukul 08:30 pagi itu dengan dibantu Bosun untuk memberikan laporan ke anjungan dan pagi itu kebetulan Nahkoda naik ke anjungan lebih awal sehingga melihat kejadian tersebut, selanjutnya Nahkoda memerintahkan Bosun untuk membawa AB tersebut ke hospital dan membangunkan Mualim 2 untuk memberikan pengobatan sementara sebelum kapal tiba di Hong Kong.
3.         Kejadian cuaca buruk berakhir pada permulaan musim panas yaitu menjelang bulan Maret dan semua laut lebih tenang dari bulan-bulan sebelumnya, kecuali di daerah Samudera Hindia yang akan memulai musim penghujan pada bulan Juni sampai Agustus, tetapi kapal kami hanya berlayar di daerah perairan Samudera Hindia Bagian Utara sehingga kuatnya alun tidak begitu terasa seperti di daerah Samudera Hindia Bagian selatan, Namun memasuki musim peghujan di daerah Asia Timur, cuaca buruk kembali menjadi permasalahan yang harus selalu dihadapi. Kejadian berikutnya adalah ketika kapal berlayar dari Hong Kong (China) menuju Shang Hai (China), tepatnya dengan deskripsi pelayaran sebagai berikut:
Date & Time        : 30 November 2004.
Voyaga Number  : 47 East.
From                    : Hong Kong (China)
To                        : Shang Hai (China).
Last Port of Call   : Port Klang (Malaysia).
Crew on Board     : 20 Persons.
Loading Condition: 1900 TEU’s.
Diterima dari Marine Departement (Mardep) setempat dan japan Meteorological Agencies pada pukul 06:33 waktu setempat bahwa terjadi pembentukan konsentrasi udara bertakanan rendah pada posisi 33°00.00 Lintang Utara-134°00.00 Bujur Timur, sehingga semua kapal yang akan berlayar menuju utara Hong Kong disarankan untuk menunda perjalanan sampai ada pemberitahuan labih lanjut dan kondisi perairan aman untuk dilayari. Nahkoda memutuskan untuk menunggu dan melego jangkar disekitar perairan Hainan sampai tekanan pada barometer menunjukan lebih dari 1000 Hpa.
Kapal berlabuh jangkar sekitar 20 jam dan setelah diterima laporan dari Mualim 1 yang bertugas jaga pada waktu itu, bahwa penunjukan pada Barometer lebih dari 1000 Hpa, maka Nahkoda memerintahkan untuk menghibob jangkar kembali dan melanjutkan kembali perjalanan setelah sekitar 5 jam berlayar, kondisi stabilitas kapal semakin mengkhawatirkan sampai meunjukan kemiringan hampir 10º sehingga seluruh pengikatan kontainer berbunyi karena saling bergesek dan jarak pandang sangat terbatas sampai 2 mil.
Kapal melaju dengan kecepatan rata-rata 18 Knots karena pengaruh rough sea dan swell, sampai sekitar 3 jam stabiitas kapal terganggu, sehingga Mualim 1 memerintahkan Bosun dan pekerja harian lainnya untuk bekerja didalam ruang akomodasi dan mengunci semua pintu keluar sampai kondisi membaik, keesokan harinya pukul 10:24 waktu setempat kapal kembali tenang meskipun jarak pandang masih terbatas sampai tengah hari.
Setelah makan siang Nahkoda bersama Mualim 1 mengadakan pemeriksaan ke upper deck dan menemukan kerusakan pada kotak pengaman Self igniting light dan semua pengikatan kontainer kendur kecuali pada Bay 13 depan ditemukan sekitar 3 long bar dan turnbucklenya patah sehingga Mualim 1 langsung memerintahkan Bosun dan para pekerja harian lainnya untuk memberikan pengikatan kembali, serta mengencangkan pengikatan pada setiap Bay kembali.
Thypoon San Poo akhirnya bergerak meninggalkan perairan menuju ke China daratan dan menghilang disekitar kota Xiamen (China Selatan). Meskipun kapal mengalami keterlambatan dari estimate time arrival untuk Shang Hai selama sekitar 20 jam, tetapi kerusakan yang terjadi tidak separah kejadian sebelumnya walaupun masih ditemukan beberapa kerusakan, kapal tiba di Shang Hai dengan selamat dan melakukan bongkar muat seperti biasanya untuk melanjutkan perjalanan ke Da Lian (China).

B.  ANALISA DATA
Setelah diketahui penyebab dari permasalahan yang terjadi dengan berlandaskan pada deskripsi data dari semua permasalahan yang ada, maka pada pembahasan selanjutnya akan dilakukan analisa terhadap permasalahan yang telah digambarkan pada kronologis kejadian di atas untuk menemukan pemecahan dari masalah di atas dengan melakukan peninjauan dan melakukan perbandingan dengan teori yang ada serta teknik-teknik yang tepat dalam bernavigasi dalam cuaca buruk. Berikut ini adalah perincian dari analisa terhadap permasalahan yang ada:
1.       Pada kejadian yang digambarkan dalam deskripsi data ke 1, ditemukan bahwa apabila setiap terjadi perkembangan yang membahayakan kapal termasuk apabila diterima berita cuaca yang menuhjukan adanya pembentukan thypoon yang berdekatan dengan posisi kapal kita Nahkoda harus diberi tahu dan ketika kapal berlayar memasuki daerah bertakanan rendah Nahkoda seharusnya mewaspadainya, karena di daerah tropika, dalam keadaan biasa, tekanan udara tidak pernah menyimpang jauh dari nilai rata-ratanya (untuk wilayah dimana Kapal yang bersangkutan berada).
Dengan demikian, maka jika terdapat penyimpangan tekanan udara sampai turun jauh dibawah normalnya maka hal ini menandakan adanya sebuah siklon tropika yang mendekati posisi kapal penilik, sesuai dengan teori di atas, maka tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan pengecekan berkala dengan frequensi sesering mungkin untuk melihat tekanan udara pada penunjukan barometer sehingga dapat diketahui apabila teradi penurunan tekanan yang jauh dari normal dan segera melakukan tindakan untuk mengantisipasi datangnya thypoon.
2.       Setelah menerima pemberitaan mengenai cuaca dari weather facsimille dan navtex juga himbauan-himbauan atau peringatan yang diberikan oleh stasiun pantai atau Marine departement setempat pada deskripsi data 3, seharusnya Nahkoda mempelajari terlebih dahulu berita tersebut dan melakukan banyak pertimbangan tentang kondisi perairan, kapal dan muatannya serta waktu yang telah ditetapkan sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Setiap Nahkoda dari setiap kapal yang ketika bernavigasi bertemu dengan cuaca buruk seperti es, badai tropis, angin dengan kecepatan 10 pada Skala Beaufort atau lebih atau bahaya navigasi lain yang dapat membahayakan palayaran harus mengirimkan berita bahaya kepada semua kapal dalam jangkauan dan mengadakan komunikasi dengan mereka atau dengan radio pantai setempat, ketika itu kapal harus mengadakan sebuah panggilan Distress, sebab kapal dalam keadaan bahaya dan sebuah panggilan yang menandakan bahwa sebuah kapal atau Orang yang melakukan panggilan itu dalam situasi bahaya dan memerlukan pertolongan dengan segera.
Pengiriman berita bahaya juga harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yaitu:
a.   Posisi dimana kapal berada, diarea mana kita berlayar dan berapa jauh dari garis pantai, sesuai dengan ketentuan pembagian area-area perairan yang terbagi kedalam area A1 sampai A4.
b.   Peralatan yang harus digunakan untuk pengirman berita dalam area tersebut, berdasarkan data di peta bahwa posisi kapal saat itu adalah berjarak lebih dari 70 Mil dari garis pantai, tetapi masih berada diantara Lintang 70º Utara dan Lintang 70ºSelatan dan termasuk kedalam laut Area A3 dan peralatan yang sesuai yang harus digunakan adalah INMARSAT A, INMARSAT B, atau IMMARSAT C.
c.   Prosedur yang harus dilakukan dalam pengiriman berita bahaya, sesuai dengan ketentuan dalam GMDSS yaitu:
1)    Tekan tombol Distress untuk memulai panggilan.
2)    Pilih gelombang dimana seharusnya berita Distress dikirimkan pada VHF, MF, INMARSAT, atau HF.
3)    Radio harus dinyalakan pada gelombang Distress DSC yang dipilih DSC, jika otomatis maka DSC akan memilih sendiri gelombangnya, akan tetapi jika tidak harus dilakukan secara manual.
4)    Jika waktu mengijinkan, pilih pada layar menu jenis kejadian, posisi kapal (jika tidak otomatis dari GPS), dan waktu UTC ketika itu.
5)    Jika waktu mengijinkan pilih jenis kejadian Distress yang di alami seperti: grounding, abandon ship, fire on board, piracy attack dan sebagainya sesuai yang terjadi di kapal anda.
6)    Pilih jenis komunikasi yang di inginkan, dengan suara atau Telex dan frequensi yang digunakan.
7)    Kirim berita Distress tadi dengan menekan dua kali tombol Distress atau tombol lain (jika jenis alatnya berbeda).
8)    Mempersiapkan untuk saluran yang dipilih dengan menyalakan radio pada gelombang yang digunakan pada gelombang yang digunakan untuk mengiirim berita dan menunggu persetujuan dari kapal lain, stasiun pantai, atau RCC setempat.
3.       Ketika dalam perjalanan dari Hong Kong ke Shang Hai, setelah dilakukan lego jangkar pada deskripsi data 3, Perwira jaga melakukan pergantian jaga, akan tetapi tidak ada serah terima sesuai yang disyaratkan mengenai apa saja yang harus dilaporkan ketika pergantian jaga dan seharusnya seorang Perwira jaga mengetahui hal-hal apa saja yang harus di perhatikan sebelum serah terima jaga dan ketika jam jaganya, yaitu :
Seorang Perwira jaga yang sedang bertugas jaga harus memperhatikan dan mengadakan pengamatan keliling dengan seksama, serta melaporkan kepada Nahkoda apabila terjadi kelainan-kelainan dan laksanakan sesuai perintahnya, tetapi bila terjadi terjadi keadaan darurat Mualim jaga saat itu diperkenankan untuk mengambil tindakan berjaga-jaga terlebih dahulu untuk menghindari bahaya dalam bernavigasi, Perwira jaga harus memeriksa kesalahan-kasalahan atau error pada peralatan navigasi yang dimiliki, mempelajari ramalan cuaca, mengirim dan menerima isyarat serta bertanggung jawab atas keselamatan di laut.
Sebelum melakukan dinas jaga, Perwira jaga juga harus mempelajari alur pelayaran dan keadaan cuaca untuk mengetahui lebih dahulu apa yang akan di jumpai nanti selama jaga, supaya tidak terlalu sering melihat peta waktu jaga, selain itu Perwira jaga juga harus memeriksa dan mempelajari dengan seksama buku perintah Nahkoda dan sesuaikan segala sesuatunya dengan yang diserah terimakan Perwira jaga sebelumnya, dan setiap Perwira jaga harus tiba lebih awal dari jam jaganya minimal 5 menit sebelum jam pergantian jaga terutama pada jaga malam untuk mengkondisikan mata dengan gelap di anjungan.
Selain itu, Perwira jaga juga diharuskan mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diserah terimakan ketika pergantian jaga seperti posisi kapal yang tepat pada saat itu, haluan dan kecepatan, informasi tentang kapal lain disekitar kita, baringan dan obyek-obyek yang akan kelihatan berikutnya, data cuaca, keadaan laut, arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap kapal, keadaan lampu-lampu navigasi, perintah khusus dari Nahkoda, mengamati kondisi cuaca dan mengambil tindakan untuk mengatasi cuaca buruk sesuai kebutuhan yang diperlukan, serta hasil pengamatan keliling terhadap muatan dan kondisi kapal.
Perwira jaga selanjutnya juga seharusnya lebih teliti, walaupun menerima serah terima yang jaga dengan data-data yang tidak lengkap, seharusnya setiap Perwira jaga melakukan tugas jaga bahwa setiap kapal harus melakukan pengamatan yang layak, baik dengan penglihatan dan penginderaan, maupun dengan semua sarana yang tersedia yang sesuai dengan keadaan dan suasana yang ada sehingga dapat membuat penilaian sepenuhnya terhadap situasi dan bahaya tubrukan.
Perwira jaga adalah sebagai perwakilan Nahkoda yang bertanggung jawab atas kapal dan semua permasalahannya selama jam jaga sehingga apabila seorang Perwira jaga memiliki kecakapan yang sesuai STCW diharapkan kejadian seperti di atas tidak akan terjadi.
4.       Ketika dalam perjalanan dari Singapore ke Hong Kong pada waktu cuaca buruk terjadi dan kondisi laut yang membahayakan serta stabilitas Kapal yang mengkhawatirkan, Perwira jaga saat itu memerintahkan seorang Juru mudi untuk memeriksa kondisi reefer kontainer dengan mengabaikan keselamatannya dan tidak mengikuti peraturan seharusnya seorang Perwira jaga harus memerhatikan bahaya terhadap orang dek ketika cuaca buruk terjadi.
Seharusnya tidak seorangpun Awak kapal diperbolehkan berada di deck ketika cuaca buruk, kecuali keadaan mendesak dan perlu demi keselamatan Awak kapal dan kapal, setiap orang yang ditugaskan di dek pada saat cuaca buruk diwajibkan memakai rompi penyelamat atau pelampung dan dilengkapi dengan radio (transceiver) serta terus melakukan hubungan dengan anjungan dan didampingi oleh back up Persons yang selalu memantaunya juga mengenakan pakaian yang terang (reflective colour) dan Awak kapal yang ditugaskan ini haruslah yang paling berpengalaman dan bekerja berpasangan serta dalam pengawasan dan dibawah pimpinan Perwira senior yang berpengalaman pula.
Pada waktu kejadian tersebut, Juru mudi tadi mengalami luka disekitar pergalangan kakinya karena tersapu ombak ketika hendak masuk ke ruang akomodasi dan apabila dilakkan sesuai prosedur dalam IMARE di atas mungkin tidak akan ada Juru mudi yang terluka karena cuaca buruk.
5.       Ketika diterima berita cuaca buruk akan terjadi, Mualim 1 sebagai Perwira yang bertanggung jawab terhadap masalah muatan seharusnya melakukan pengamanan yang lebih kuat terhadap muatan yang dibawanya, tali-tali penyelamat harus dipasang di tempat-tempat yang diperlukan sebagai tindakan antisipasi apabila terjadi cuaca buruk, dan semua pengikatan muatan deck terutama pengikatan untuk kapal jenis kontainer harus diperiksa dan dikencangkan sebagai tindakan antisipasi sebelum terjadinya cuaca buruk, jika perlu pekerjaan di deck pada saat cuaca buruk harus dengan seizin Nahkoda dan dengan sepengetahuan Perwira jaga di anjungan.
Apabila hal di atas dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, tentunya ketika cuaca buruk terjadi semua pengikatan pada kontainer dalam kondisi yang baik sehingga tidak akan terjadi pengikatan kendur yang akan mengakibatkan kontainer jatuh kelaut.
6.       Sebelum cuaca buruk terjadi, seharusnya Mualim 3 sebagai Perwira yang bertanggung jawab terhadap alat-alat keselamatan seharusnya melakukan tindakan penyelamatan atau pengamanan yang lebih terhadap peralatannya.
Tali-tali penyelamat harus dipasang ditempat-tempat yang diperlukan sebagai tindakan antisipasi kalau cuaca buruk terjadi termasuk untuk alat-alat keselamatan yang ditempatkan di dek seperti life bouy, self igniting light juga EPIRB dan fire house beserta hose dan noozlenya.
Apabila tindakan ini dilakukan mungkin tidak akan ada lifebouy yang hanyut terhempas ombak atau rusak paling tidak bisa mengurangi jumlah kerugian yang akan diderita.
C.  ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Setelah dilakukan analisa terhadap permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk, banyak sekali persoalan yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan ini dan berdasarkan analisa yang dilakukan pada bab sebelumnya dengan melakukan pembahasan terhadap semua penyebab permasalahan yang terjadi serta menjawab semua persoalan dengan berdasarkan pada ketentuan dan peraturan yang berlaku dalam bernavigasi ketika cuaca buruk, maka berikut ini akan dipaparkan beberapa alternatif yang bisa diambil dari hasil pembahasan untuk memecahkan permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk, yaitu:
1.   Mengadakan briefing atau pengarahan terhadap para Perwira kapal dalam masalah bernavigasi yang baik terutama sebelum berlayar  memasuki daerah cuaca buruk terutama dalam mengidentifikasi keadaan cuaca disekitarnya terhadap kemungkinan terjadinya resiko terburuk yang akan terjadi dengan mempertimbangkan semua indikator suhu, tekanan udara, kecepatan dan arah angin, kondisi laut dan arusnya, kabut dan awan serta kemungkinan adanya bongkahan es yang terseret yang bisa membahayakan, terutama kemungkinan adanya bahaya thypoon dengan tindakan berjaga-jaga yang baik sesuai aturan 5 Collision Regulation 1972 dan BAB 5 SOLAS tentang Safety of Navigation untuk mencegah kejadian yang tidak di inginkan dengan melatih mulai dari persiapan yang harus dilakukan untuk muatan, alat-alat keselamatan dan lain-lain termasuk dalam pengoperasian peralatan bantu navigasi terutama yang berhubungan dengan pemberitaan cuaca seperti weather facsimile, navtex, EGC received dll. Juga peralatan komunikasi seperti radio VHF, radio MF/HF, INMARSAT B&C dan peralatan GMDSS lainnya serta bahasa inggris dalam melakukan komunikasi radio yangg baik sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahfahaman dalam komunikasi dan membaca suatu berita bahaya.
2.   Nahkoda mengadakan pengawasan langsung atau berada di anjungan untuk mendampingi para Perwira jaga dan Juru mudi untuk mengambil alih semua pimpinan dibawah perintahnya sehingga sebelum kejadian yang buruk terjadi, Nahkoda bisa megantisipasinya dengan mengadakan beberapa tindakan baik untuk para pekerja deck dan muatannya juga untuk permasalahan dalam bernavigasi dan komunikasi yang diperlukan ketika cuaca buruk terjadi, sehingga semua tindakan ragu-ragu yang mungkin akan di lakukan oleh para Perwira jaga dapat dihindari dan kecelakaan pelayaran dapat dihindari.
3.   Nahkoda melakukan pemeriksaan sebelum memulai pelayaran terhadap kondisi pengikatan pada kontainer, alat-alat keselamatan termasuk Pilot ladder dan semua lashing materials yang ditempatkan pada  setiap lashing box dan memastikan semuanya dalam kondisi yang aman untuk melakukan sebuah pelayaran memasuki cuaca buruk, sehingga ketika kapal berlayar pengikatan pada muatan dan alat-alat keselamatan dapat bertahan sampai kapal tiba di pelabuhan tujuan dengan selamat
4.   Nahkoda memberikan sebuah catatan berupa guidance for sailing in heavy weather selain dari Master order atau night order yang bisa berupa sebuah rangkuman dari petunjuk untuk bernavigasi di wilayah service areanya mulai dari persiapan, termasuk chanel radio yang digunakan, penggunaan bahasa dalam komunikasi, identifikasi, maneuver, dan sebagainya, yang merupakan rangkuman dari publikasi navigasi yang ada dikemas dengan gaya tersendiri yang sederhana dan menarik supaya lebih mudah untuk dipelajari untuk memperjelas tindakan yang harus dilakukan sebagai antisipasi atau menghindari resiko terburuk ketika cuaca buruk berlangsung dan memerintahkan semua Perwira jaga untuk memanggil Nahkoda seperti dalam Master order setiap kali timbul keraguan untuk mengambil tindakan dalam bermanuver, berkomunikasi, atau dalam pembacaan berita navigasi seperti weather facsimile, navtex atau untuk memutuskan pekerjaan yang harus dilakukan untuk para pekerja harian dan yang lainnya sehingga kecelakaan pelayaran dapat dihindari dan kegiatan operasional kapal akan lancar.
D.  EVALUASI PEMECAHAN MASALAH
Dari beberapa alternatif yang telah dikemukakan sebagai upaya untuk memecahkan permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk, tentunya dalam persoalan ini adalah untuk mencari solusi terbaik yang benar-benar sesuai untuk diaplikasikan dilapangan dan diterima semua pihak dan tentunya diyakini sebagai satu metode yang peling efektif untuk menaggulangi permasalahan tadi, maka berikut ini akan dilakukan peninjauan ulang terhadap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing metode sebagai alternatif pemecahan masalah yang dikemukakan dalam topik bahasan sebelumnya untuk mengatasi kecelakaan yang terjadi ketika bernavigasi dalam cuaca buruk, yaitu:
1.   Mengadakan briefing atau pengarahan terhadap para Perwira kapal dalam masalah bernavigasi yang baik terutama sebelum berlayar memasuki daerah cuaca buruk dalam mengidentifikasi keadaan disekitarnya terhadap kemungkinan terjadinya resiko terburuk yang akan terjadi dengan mempertimbangkan semua indikator suhu, tekanan udara, kecepatan dan arah angin, kondisi laut dan arusnya, kabut dan awan serta kemungkinan adanya bongkahan es yang terseret yang bisa membahayakan, terutama kemungkinan adanya bahaya thypoon dengan tindakan berjaga-jaga yang baik sesuai aturan 5 Collision Regulation 1972 dan BAB 5 SOLAS tentang Safety of Navigation untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan dengan melatih mulai dari persiapan yang harus dilakukan untuk muatan, alat-alat keselamatan dan lain-lain termasuk dalam pengoperasian peralatan bantu navigasi terutama yang berhubungan dengan pemberitaan cuaca seperti weather facsimile, navtex, EGC received dll. juga peralatan komunikasi seperti radio VHF, radio MF/HF, INMARSAT B&C dan peralatan GMDSS lainnya serta kemampuan berbahasa Inggris yang baik sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahfahaman dalam komunikasi dan membaca suatu berita bahaya.
Keuntungannya:Pengarahan yang dilakukan seperti ini akan memakan waktu yang singkat dan setiap Perwira kapal dakan memahami dan mengetahui semua teknik yang harus dilakukan dalam bernavigasi termasuk ketika cuaca buruk berlangsung mulai dari identiikasi, bagaimana tindakan antisipai yang harus dilakukan seperti mengamankan muatan dan alat-alat keselamatan, cara berkomunikasi yang baik dengan menggunakan peralatan bantu navigasi yang standar, dan kebijakan apa saja yang harus diambil ketika bernaviasi memasuki perairan dengan cuaca buruk baik dalam bermanuver dan komunikasi dengan radio pantai sehingga bisa menghindari resiko terburuk dari kejadian tersebut.
Kerugiannya:       Di samping banyaknya keuntungan apabila kita mengambil alternatif di atas, untuk melaksanakan sebuah penyuluhan tentunya diperlukan waktu bagi Nahkoda untuk mengupulkan semua Perwira ketika eaktu pesiar dipelabuhan dan diperlukan waktu yang pasti akan menyita untuk para perwira melakukan persiapan sebelum melakukan pelayaran terutama untuk Mualim 2 yang harus menyiapkan peta dan peralatan bantu navigasi lainnya untuk pelayaran berikutnya.
2.   Nahkoda mengadakan pengawasan langsung atau berada di anjungan untuk mendampingi para Perwira jaga dan Juru mudi untuk mengambil alih semua pimpinan dibawah perintahnya sehingga sebelum kejadian yang buruk terjadi, Nahkoda bisa megantisipasinya dengan mengadakan beberapa tindakan baik untuk para pekerja dek dan muatannya juga untuk permasalahan dalam bernavigasi dan komunikasi yang diperlukan ketika cuaca buruk terjadi, sehingga semua tindakan ragu-ragu yang mungkin akan dilakukan oleh para Perwira jaga dapat dihindari dan kecelakaan pelayaran dapat dihindari.
Keuntungannya:Dengan dilakukan pengawasan langsung terhadap semua kegiatan selama pelayaran dalam cuaca buruk maka, Nahkoda bisa mengontrol semua kegiatan dan mengoreksi secara langsung tindakan dari para Perwira kapal yang akan membahayakan kapal sehingga resiko terburuk dapat dihindari karena semua pembacaan berita cuaca, komunikasi dan perintah untuk tindakan antisipasi langsung di lakukan Nahkoda sebagai Perwira yang paling berpangalaman sehingga dapat mengatasi permasalahan yang ada dengan tindakan antisipasi yang lebih dini.
Kerugiannya:   Cuaca buruk dalam musim penghujan atau sekitar bulan September sampai Maret bisa berlangsung selama pelayaran yang akan memakan waktu yang lama sehingga sangat tidak memungkinkan bagi Nahkoda untuk selalu berada di anjungan selama itu mengingat rest periode yang diperlukan oleh setiap Awak kapal, disamping itu tugas khusus Nahkoda yang lainnya dan tentunya lebih penting tidak dapat diabaikan hanya untuk mengatasi situasi ini.
3.   Nahkoda melakukan pemeriksaan sebelum memulai palayaran terhadap kondisi pengikatan pada kontainer, alat-alat keselamatan dan memastikan semuanya dalam kondisi yang aman untuk melakukan sebuah pelayaran memasuki cuaca buruk, sehingga ketika kapal berlayar pengikatan pada muatan dan alat-alat keselamatan dapat bertahan sampai kapal tiba di pelabuhan tujuan dengan selamat
Keuntungannya:Dengan mengambil alternatif ini dapat dipastikan semua kondisi pengikatan baik pada muatan dan alat-alat keselamatan dalam kondisi baik, sehingga tidak akan terjadi pengikatan yang kendur atau alat-alat keselamatan yang jatuh kelaut.
Kerugiannya: Pada alternative ini Nahkoda dituntut untuk dapat memberikan waktu lebih untuk melakukan pemeriksaan terhadap semuanya sementara tugas Nahkoda dipelabuhan sangat banyak untuk mengurus semua clearance baik untuk Awak kapal, kapal, dan muatannya sehingga kemungkinan urusan dengan Agent dan pihak pelabuhan akan terbengkalai.
4.   Nahkoda memberikan sebuah catatan berupa guidance for sailing in heavy weather selain dari Master order atau Night order yang bisa berupa sebuah rangkuman dari petunjuk untuk bernavigasi di wilayah service areanya mulai dari persiapan, termasuk chanel radio yang digunakan, penggunaan bahasa dalam komunikasi, identifikasi, maneuver, dan sebagainya, yang merupakan rangkuman dari publikasi navigasi yang ada dikemas dengan gaya tersendiri yang lebih sederhana dan menarik supaya mudah untuk dipelajari  untuk memperjelas tindakan yang harus dilakukan sebagai antisipasi atau menghindari resiko terburuk ketika cuaca buruk berlangsung dan memerintahkan semua Perwira jaga untuk memanggil Nahkoda seperti dalam Master order setiap kali timbul keraguan untuk mengambil tindakan dalam bermanuver, berkomunikasi, atau dalam pembacaan berita navigasi seperti weather facsimile, navtex atau untuk memutuskan pekerjaan yang harus dilakukan untuk para pekerja harian dan yang lainnya sehingga kecelakaan pelayaran dapat dihindari dan kegiatan operasional kapal akan berjalan dengan lancar.
Keuntungannya:Pada alternatif ini pembagian jaga teratur sebagaimana mestinya sehingga tidak ada salah satu pihak yang dirugikan dan diuntungkan, disamping itu Nahkoda sebagai penganggung jawab utama juga bisa melakukan pengawasan secara acak ketika waktu-waktu tertentu sesuai dengan perhitungan yang dia buat dimana cuaca pada saat itu bisa membahayakan, selain itu apabila terdapat kesalahan perhitungan oleh Nahkoda, Perwira jaga dapat memanggil Nahkoda pada saat-saat yang menimbulkan keragu-raguan untuk mengambil tindakan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan dan dapat dilakukan tindakan pencegahan lebih awal.
Kerugiannya:   Apabila terjadi kepanikan yang mungkin akan membuat Perwira kapal melakukan tindakan dengan segera dapat terjadi dikarenakan Nahkoda kapal yang seharusnya bisa di hubungi tidak berada ditempat atau sedang ketiduran, sehingga dapat menimbulkan akibat yang buruk, dan pihak perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk penerbitan buku  rangkuman navigasi ini.

 BAB V
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Kecelakaan pelayaran merupakan suatu hal yang sangat tidak diinginkan oleh pihak manapun, kecelakaan pelayaran yang terjadi selama ini sering dikarenakan cuaca buruk yang ditemui ketika dalam pelayaran, kecelakaan yang terjadi sering juga diakibatkan karena persiapan yang kurang matang sebelum melakukan sebuah pelayaran, kemampuan untuk mengidentifikasi dan tindakan antisipasi terhadap cuaca buruk yang kurang dari para Perwiranya dan kemampuan mengoperasikan peralatan bantu navigasi serta komunikasi Radio yang mengkhawatirkan, maka untuk menanggulangi permasalahan yang ada, pada pembahasan sebelumnya telah dilakukan analisa terhadap persoalan yang ada dan dari hasil analisa tersebut, diperoleh beberapa  metode sebagai alternatif pemecahan masalah.
Dari beberapa alternatif yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, dilakukan evaluasi terhadap beberapa pilihan mengenai keuntungan dan kerugian dari masing-masing metode, untuk menyelesaikan permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk dan bagaimana supaya kecelakaan

itu dapat sedini mungkin dihindari sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan serta mendukung sepenuhnya kegiatan operasional kapal dan perusahaan.
Setelah melakukan peninjauan ulang semua permasalahan yang ada dan melihat keunggulan dari masing-masing alternatif maka diperoleh sebuah kesimpulan yaitu dengan mengambil alternatif terakhir (No.4) sebagai metode yang akan digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk yaitu:
Dengan cara setiap Nahkoda pada masing-masing kapal memberikan sebuah catatan selain dari Master order atau night order untuk memperjelas tindakan yang harus dilakukan sebagai antisipasi untuk menghindari resiko terburuk ketika cuaca buruk berlangsung, catatan itu dibuat dalam bentuk sebuah buku yang berisikan rangkuman dari publikasi navigasi, radio dan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi yang benar termasuk semua tindakan yang sesuai prosedur standar yang harus dilakukan mulai dari identifikasi, persiapan, bermanuver dan berkomunikasi yang baik ketika bernavigasi di daerah cuaca buruk yang disetujui dan dicetak oleh pihak perusahaan dalam bentuk sebuah buku panduan perusahaan.
Pembuatan buku tersebut juga disesuaikan dengan rute pelayaran dari masing-masing fleet yang dimiliki oleh perusahaan itu dengan deskripsi yang sedemikian rupa dari mulai identifikasi, persiapan sampai mengenai permasalahan bermanuver, komunikasi radio dan penggunaan bahasanya dengan desain yang sedemikian rupa sehingga menjadi sederhana dan menarik dalam penyajiannya serta memudahkan para Perwira untuk memahaminya juga menimbulkan semangat para Perwira untuk membaca dan mempelajarinya.
Dan selanjutnya memerintahkan semua Perwira jaga untuk memanggil Nahkoda seperti dalam Master order setiap kali timbul keraguan untuk mengambil tindakan dalam bermanuver, berkomunikasi, atau dalam pembacaan berita navigasi seperti weather facsimile, navtex atau untuk memutuskan pekerjaan yang harus dilakukan untuk para pekerja harian dan yang lainnya sehingga tidak ada Awak kapal, muatan atau kapalnya sendiri yang akan menerima resiko terburuk dari cuaca buruk yang terjadi sehingga semua hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan pelayaran dapat diantisipasi.
Dengan identifikasi yang tepat terhadap ramalan keberadaan thypoon dan pergerakannya pelayaran yang akan dilakukan akan dapat diperhitngkan dengan baik sehingga dapat dilakukan persiapan sedemikian rupa baik terhadap muatan, alat-alat keselamatan dan lain-lain juga mental para Perwiranya sehingga kegiatan operasional kapal akan berjalan dengan lancar dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik pihak kapal atau konsumen.
B.  SARAN
Dari kesimpulan yang telah diambil sebagai metode pemecahan yang dapat menyelesaikan permasalahan dalam bernavigasi ketika cuaca buruk dalam pembahasan sebelumnya, maka untuk mendukung keselamatan bernavigasi ketika cuaca buruk, maka:
1.   Untuk pihak kapal:
a.   Para Perwira kapal terutama Nahkoda diharapkan untuk lebih teliti dalam melakukan identifikasi cuaca buruk terutama thypoon dan semua persiapan untuk semua bagian kapal dari mulai Mualim 3, Mualim 2 dan Mualim 1 juga Nahkoda untuk sebuah pelayaran terutama dalam kondisi cuaca buruk seperti melakukan persiapan-persiapan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam STCW 1978, SOLAS 1972, IMARE 2000, sehingga tindakan antisipasi yang dilakukan benar-benar efektif.
b.   Selain itu juga kepada para Perwira supaya mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing terutama untuk mengamankan bagiannya untuk mengantisipasi datangnya cuaca buruk dan melakukan tindakan berjaga-jaga dan bernavigasi sesuai dengan aturan 5 Peraturan Pencegahan Tubrukan di Laut (Collision Regulation 1972).
c.   Melatih kemampuan dalam berbahasa Inggris sehingga ketika melakukan komunikasi internal dan eksternal sesuai dengan ketentuan dalam Standard Marine Communication Phrases dan tidak ada kesalahfahaman antara pengirim berita dan yang menerimanya.
2.   Untuk pihak perusahaan:
a.    Selain itu kepada pihak perusahaan juga seharusnya mengadakan seleksi yang lebih ketat, teliti dan independent (bebas KKN) dalam memilih calon-calon Perwira yang akan ditempatkan di atas kapal-kapalnya.
b.    Disamping itu pihak perusahaan juga perlu untuk mengadakan program-program pelatihan mengenai permasalahan cuaca buruk sebagai salah satu program Safety Management System yang diberikan perusahaan sebelum Perwira itu berlayar atau selama dalam pelayaran yang pelaksanaannya diserahkan kepada Nahkoda atau Mualim 1 sebagai penanggung jawab.
c.    Perusahaan perlu untuk membuat buku panduan tersendiri mengenai permasalahan yang akan dihadapi dalam bernavigasi termasuk cara mengatasinya yang berupa sebuah ringkasan dari buku-buku navigasi yang ada untuk mempermudah dalam mempelajari situasi dalam melakukan tindakan untuk menghidari hal-hal yang tidak diinginkan dan sebagai panduan bagi para Perwiranya dengan membentuk sebuah tim dengan sebuah penelitian untuk semua armadanya sesuai dengan service areanya.
Beberapa saran di atas diharapkan dapat dijadikan pendukung dalam menciptakan sebuah pelayaran yang aman dalam setiap kondisi termasuk ketika bernavigasi dalam cuaca buruk sehingga Awak kapal, kapal, dan muatannya dapat dilayarkan dengan selamat dan sepenuhnya kegiatan operasional kapal dapat berjalan dengan lancar.



UNTUK PEMBELIAN COPY-AN LENGKAP WORD, PDF, MAUPUN PRESENTASI KARYA ILMIAH DI ATAS BISA MENGHUBUNGI 085859402998DENGAN HARGA DOKUMEN RP. 200.000TERIMAKASIH





Komentar

Postingan populer dari blog ini